Senin, 08 November 2010

Hidup dengan Cerdas

ROHANI


“Anak-anak dunia lebih cerdik daripada anak-anak terang,” (Lk 16:9)

Kintaro- Betapa sering kita mendengar pernyataan, “Tuhan mencintai pendosa, tetapi membenci dosa!”. Kita pun menyakini cinta Tuhan tak berkesudahan. Cinta Tuhan tetap. Tak berubah, abadi kepada siapapun, kapanpun, dan di manapun.

Apakah demikian dalam kehidupan kesehatian kita? Ternyata, dunia retorika-dunia kata-kata telah membius kita. Sangat mudah kita berkilah. Sangat mudah kita berpuas diri bila mampu mengucap kalimat sakral sebagai benteng diri.

Sebagai orang tua pasti kita pernah kecewa-kesal-marah karena tabiat anak-anak. Kita melakukan gencatan senjata dengan mendiamkan atau tidak bertegur sapa. Seolah, kita sedang melempar ‘bom molotov’, kau dicintai kalau bertingkah wajar-santun-hormat-patuh; kau tidak dicintai kalau tidak tahu membalas kasih.

Dalam nuansa hidup ‘tidak bertegur sapa’ ini, pernahkah kita berpikir sebagaimana anak berpikir? Pasti, anak akan berkesimpulan, “Jika saya baik, saya dicintai. Jika saya buruk, saya disingkirkan!”.

Dalam menyikapi orang tua yang mendiamkan atau tidak bertegur sapa akan belajar untuk menekan dan mengembangkan sikap penurut, berpura-pura, mudah tersinggung, dan rendah diri. Bahkan, anak belajar untuk takut, untuk tidak percaya diri. Tindakan tidak ramah orang tua yang sangat fatal adalah menjadikan anak-anak duplikatnya. Anak harus menjadi seperti yang orang tua mau.

Tidak hanya dalam berpakaian-bersikap, tapi juga berkait masa depannya. Tidak heran bila banyak yang kehilangan masa kanak-kanaknya, kehilangan masa remajanya. Kehilangan impian-impiannya. Kehilangan jati diri. Ada semacam pemaksaan kehendak. Orang tua telah membuatkan skenario hidup dan kehidupan bagi anak-anaknya.

Tentu, ini wajar dan manusiawi. Hanya, menjadi tidak wajar bila ‘pemaksaan’ menjadikan anak terpenjara. Mengapa? Pendekatan mendiamkan atau tidak bertegur sapa mengajar anak untuk berpura-pura taat, berpura-pura patuh-santun-hormat.

Dalam proses pemribadian anak-anak yang demikian laksana seekor burung yang patah sayapnya. Tidak percaya diri, bergantung, bahkan depresi.

Tuhan mengajar kita untuk kebaikan kita supaya kita berolah bagian dalam kemuliaan-Nya. Memang setiap ganjaran tidak serta-merta menghadirkan suka cita. Tapi, kemudian, akan menghasilkan buah kebenaran yang memberikan  damai sejahtera kepada mereka yang terlatih dalam hidup,” (Ibrani 12:10-11).

Hidup dengan cerdas selalu bersisi tiga. Pertama, berani berada di belakang namun tidak merasa ditinggalkan. Berani di belakang hingga mampu memotivasi-mendorong-menyemangati.

Kedua, berani berada di samping namun tidak merasa direndahkan. Berkemampuan menjadi “sahabat dalam perjalanan”. Merasa sepikir-setujuan. Berada dalam atmosfer senasib-sepenanggungan.

Ketiga, berada di depan namun tidak memaksakan kehendak. Berkemampuan menuntun-menunjukkan arah, Hidup dengan cerdas berarti berani berkata "ya", berani berkata "tidak", pada tempat-waktu-kondisi-orang secara tepat.

Kata "tidak", membantu anak-anak untuk berpisah pada setiap hal yang disukai: makanan, mainan, minuman, hiburan. Kata "tidak", menumbuhkan harga diri dan percaya diri untuk berkeputusan dan menjadikan pilihan dengan tepat-akurat-bermanfaat.

Kata "ya" akan memperkokoh dedikasi-loyalitas-komitmen. Ada kerendahan hati. Ada pilihan cerdas. Ada kemauan untuk mewujudkan ‘dreams’ yang diidamkan. Kata "ya" menumbuhkan optimisme-sportivitas-solidaritas.

Hidup dengan cerdas adalah kesediaan membuka kedua tangan dan berkata, “Tuhan saya mau…”. Pasti, Tuhan akan menjawab, “Ya, anakku, Aku akan memampukanmu".

Itulah iman. Dan inilah sikap yang Tuhan kehendaki.  (*)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar